"Waktu yang Tak Pernah Sederhana"

Tiga belas tahun bukanlah waktu yang sebentar.

Tapi tidak—ini bukan tiga belas tahun. Ini empat belas.
Empat belas musim gugur yang gugur begitu saja,
Empat belas kali senja datang, dan aku masih memikirkan namanya.

Aku pertama kali melihatnya dengan hati yang tak tahu apa-apa di tahun 2011.
Sekadar kekaguman polos seorang remaja,
yang belum tahu bahwa pandangan pertama bisa bertahan seumur hidup.

Lalu tahun 2014 datang seperti cahaya yang menyilaukan,
dan aku tahu, aku jatuh cinta.
Tak terbendung, tak tertolong, tak berbalas.

Empat tahun kemudian, 2018, aku tersadar bahwa cinta ini tak lagi ringan.
Ia berubah menjadi sesuatu yang dalam—menyesakkan dan hangat sekaligus.
Aku mencintainya. Dengan diam. Dengan penuh takut. Dengan sepenuh hati.

Dan di tahun 2019, aku mencoba merelakannya.
Sebab mencintai tanpa dipedulikan adalah seperti berjalan di padang pasir tanpa arah.
Namun ternyata merelakan bukan berarti berhenti berharap.

2022 menyelinap masuk, mengagetkanku dengan perasaan yang masih bertahan.
Aku takut kehilangannya.
Meski pada kenyataannya, aku tak pernah benar-benar memilikinya.

Lalu 2023 datang sebagai tahun penuh luka.
Cinta yang kupeluk erat itu memudar dengan cara yang menyakitkan dan sunyi.
Dan akhirnya, aku benar-benar mendoakannya.
Dengan tulus. Dengan air mata. Dengan hati yang retak, tapi ikhlas.

Kini, 2024 dan 2025 menatapku dari kejauhan.
Aku tak lagi mencintainya.
Tapi masih...
Masih mengingat.
Masih memaafkan.
Masih belajar menerima bahwa beberapa cinta memang hanya datang untuk mengajarkan bagaimana bertahan,
bukan untuk dimiliki.

Komentar

Postingan Populer